Proyek Rp 2 Triliun Tak Kunjung Aktif, Corong Jabar Pertanyakan Keseriusan Pemprov Jabar

BANDUNG (DJALAPAKSINEWS) – Persoalan sampah di Jawa Barat kembali menjadi sorotan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersama pemerintah kota/kabupaten diminta serius mencari solusi dan tidak saling menyalahkan. Dengan jumlah penduduk sekitar 2.591.763 jiwa dan luas wilayah 167,31 km², Kota Bandung menghasilkan sekitar 1.800 ton sampah per hari, sehingga membutuhkan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang mampu menampung secara berkelanjutan.

Ketua Presidium Corong Jabar, Yusuf Sumpena, SH, atau Kang Iyus, mengingatkan bahwa kepala daerah di Provinsi Jawa Barat dan Bandung Raya harus segera mengambil langkah konkret mengatasi persoalan sampah yang semakin mengkhawatirkan, terutama karena jatah ritasi ke TPA Sarimukti mulai dibatasi.

“Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat—baik rumah tangga, pelaku usaha, maupun perkantoran. Saya mengingatkan pemerintah provinsi dan pemerintah daerah di Bandung Raya agar tidak saling melempar tanggung jawab. Mereka harus duduk bersama mencari solusi terbaik demi kepentingan rakyat,” tegas Kang Iyus. Ia juga menyarankan agar kepala daerah melakukan konsolidasi dengan para ahli persampahan yang memahami situasi lapangan.

Menurut Kang Iyus, pengelolaan TPAS tidak boleh hanya terpaku pada Sarimukti. Jawa Barat sebenarnya memiliki sejumlah aset yang sudah direncanakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Leuwigajah, Legok Nangka, dan Jelekong. Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut signifikan.

Legok Nangka, misalnya, merupakan proyek TPPAS dengan luas sekitar 82,5 hektare yang telah menyerap anggaran hampir Rp2 triliun. Infrastruktur yang sudah siap sejak 2019 belum dapat dioperasikan dan masih harus menunggu hingga 2029. “Proyek ini sudah melewati dua gubernur, menjadi pertanyaan besar. Demikian juga Leuwigajah dan Jelekong yang tidak kunjung ditindaklanjuti,” ungkapnya.

Kang Iyus juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yang terdiri dari 49 pasal dalam XVIII bab, menegaskan bahwa pengelolaan sampah merupakan kewenangan bersama pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah daerah. Sementara masyarakat berkewajiban membayar retribusi kepada pemerintah melalui dinas terkait.

“Pemerintah pusat dan pemerintah provinsi sebagai regulator harus turut bertanggung jawab dan memberikan solusi. Jangan hanya memberikan punishment tanpa mempertimbangkan fakta sosial, demografis, geografis, serta kondisi lapangan,” tegas Kang Iyus.

(Red)

Editor: Anas Nasikhin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Contoh Menu Header Tetap